Jumat, 14 Juni 2013

Indonesia: One Tier atau Two Tier?

Isu Good Corporate Governance menjadi kian populer di Indonesia sejak terjadinya krisis finansial tahun 1997-1998. Penyebab krisis ini adalah ada anggapan bahwa Corporate Governance di Indonesia lemah. Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia saat ini memiliki kredibilitas yang buruk di mata Internasional. Korupsi, kolusi, kejahatan perbankan, terorisme, sampai kepada pelayanan pemerintahan yang tidak cukup meyakinkan untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Disamping itu, terdapat banyak kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan di pasar modal. Sebut saja contoh kasus insider trading di Perusahaan Gas Negara atau kasus pembobolan deposito PT Elnusa di Bank Mega. Hal-hal ini yang sekiranya menunjukkan bahwa GCG dibutuhkan untuk mengarahkan perusahaan supaya dapat mencapai tujuannya dengan salah satunya mencegah terjadinya kecurangan di dalam perusahaan. GCG menunjukkan perannya sebagai standar atau tolak ukur untuk Indonesia, supaya kita mengetahui seberapa ukuran yang harus kita capai untuk mengubah persepsi dunia luar akan Indonesia.

Badan di Indonesia sendiri yang berusaha menanamkan nilai-nilai GCG adalah BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal). Nilai-nilai ditanamkan Bapepam seperti mendorong implementasi prinsip-prinsip GCG di Indonesia, dengan menerbitkan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan GCG seperti penerapan prinsip-prinsip kewajaran terutama untuk perlindungan kepentingan dan hak pemegang saham, ketentuan mengenai benturan kepentingan dalam transaksi-transaksi tertentu, ketentuan mengenai penawaran tender, keputusan Bapepam mengenai penerapan prinsip responsibilitas, akuntabilitas seperti keputusan mengenai merger, dan akuisisi perusahaan publik.

GCG mempunyai dua teori utama yakni stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory memandang manajemen sebagai pihak yang dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Sementara itu, agency theory memandang manajemen perusahaan sebagai agen bagi para pemegang saham yang bertindak dengan kesadaran bagi kepentingannya sendiri sehingga akan muncul konflik kepentingan. Agency theory menjadi lebih populer karena mencerminkan kenyataan yang ada. Di samping itu ada governance structure yaitu struktur hubungan pertanggungjawaban dan pembagian peran di antara berbagai organ utama perusahaan yakni pemegang saham, komisaris, dan direksi. Struktur perusahaan harus didesain untuk mendukung jalannya aktivitas organisasi secara bertanggungjawab dan terkendali. Ada dua struktur yaitu one-tier system dan two-tier system dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Sistem one-tier digambarkan sebagai sebuah struktur dimana hanya ada pimpinan tanpa adanya pemisahan tersendiri untuk fungsi pengawasan dan tidak batasan dalam fungsinya. Jelas sistem ini mempunyai kekurangan karena tidak adanya sistem pengawasan. Namun jika dilihat dari sisi positifnya, sistem ini membuat pemimpin organisasi dapat leluasa memberikan arahan dan perintah berdasarkan visi  dan misi perusahaan. Berbeda dengan one-tier, pada sistem two-tier terdapat badan pengawas yang mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Perbedaan mendasar antara one-tier dan two-tier adalah pada sistem one-tier tidak jelas siapa yang menjalankan fungsi pengawasan karena yang ada hanya fungsi pengambil kebijakan yang dijalankan oleh Chairman dan fungsi pelaksana kebijakan yang dijalankan oleh CEO.

Sistem two-tier sangat menjanjikan performa organisasi yang bagus. Hal ini terkait dengan adanya dewan komisaris yang merupakan pemegang kekuasaan sebagai pengawas sehingga diharapkan akan dapat mencegah atau mengurangi kecurangan. Tetapi ada-tidaknya penyelewengan dan bagus-tidaknya performa sebuah perusahaan juga sangat bergantung kepada sumber daya manusia yang ada dalam organisasi itu. Sistem manajemen yang baik yang meliputi sistem perekrutan yang ketat dan teruji akan menghasilkan orang-orang terbaik dalam bidangnya. Aspek lain yang dapat menjadikan struktur two-tier berjalan dengan baik adalah kredibilitas komite audit yang adalah salah satu pilar penghubung antara dewan komisaris dan dewan direksi karena masih banyak komisaris yang tidak mengetahui secara baik fungsi dan perannya di sebuah perusahaan.

Indonesia menganut paham two-tier system yang terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Board of Director, dan Executive Managers (manajemen yang akan menjalankan aktivitas) sedangkan untuk model two-tier system terdiri dari RUPS, Dewan Komisaris, Dewan Direktur, dan Manajer Eksekutif. Struktur ini memisahkan keanggotaan dewan, yakni antara keanggotaan dewan komisaris sebagai pengawas dan dewan direksi sebagai eksekutif perusahaan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya mengikuti model two-tier system yang merupakan warisan dari Belanda. Namun, sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 1995 yang menyatakan bahwa anggota dewan direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS begitu juga sebaliknya anggota dewan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Dengan demikian, dewan komisaris maupun dewan direksi bertanggungjawab terhadap RUPS.  Dengan melihat posisi yang sejajar antara dewan komisaris dan dewan direksi mengakibatkan kedudukan dewan komisaris di Indonesia tidak sekuat seperti dewan komisaris di negara-negara Eropa karena dewan komisaris tidak berwenang mengangkat dan memberhentikan dewan direksi. Dewan direksi tidak harus bertanggungjawab terhadap dewan komisaris. Hal ini dapat memunculkan pemahaman bahwa dewan komisaris tidak mengawasi dewan direksi tetapi malah menjadi “berteman” karena kedudukan yang sejajar. Di sisi lain, ada one-tier system yang dianut oleh perusahaan-perusahaan di Inggris dan Amerika yang melihat berdasarkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan di kedua negara ini memang biasanya sukses dalam menerapkan konsep GCGnya. Memang, one-tier system tidak ada yang berperan sebagai pengawas untuk Executive Managers sehingga mungkin ada risiko pemimpin yang diktator. Tetapi, kedua sistem ini memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing tergantung di negara mana sistem ini diterapkan.  Apabila kita lihat di negara Amerika dan Inggris yang memang cara berpikir, bertindak, dan menjalankan bisnis serta penegakan hukum sudah lebih maju dibandingkan Indonesia yang masih sarat dengan KKN dan kelemahan hukum memang cocok untuk memakai one-tier system. Di Indonesia sendiri rasanya belum bisa dijalankan sistem seperti ini karena adanya konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan, tidak efektifnya dewan komisaris, dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia sendiri.

Kelebihan dan kelemahan kedua sistem ini harus dipertimbangkan oleh perusahaan di suatu negara tatkala ingin mengadopsi salah satu diantara keduanya. Bisa saja Indonesia mungkin menganut one-tier system apabila situasi dan kondisi negara sudah seperti Inggris atau Amerika. Namun, Indonesia bisa pula tetap menganut two-tier system dengan memperhatikan pemilihan dewan komisaris dan dewan direksi yang independen, memiliki integritas, dan berkompeten. Jadi, apakah Indonesia siap untuk mengadopsi sistem one-tier? Rasa-rasanya melihat keadaan sekarang sudah pasti jawabannya adalah tidak. Namun, mari kita berharap seiring berjalannya waktu proses tatakelola perusahaan di Indonesia semakin membaik sehingga apabila nantinya Indonesia siap menerapkan sistem one-tier maka memang di masa itu nantinya telah terjadi perubahan besar atau transformasi dalam bidang sosial, hukum, dan politik.


Oleh: Kasih Silitonga
Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

2 komentar:

  1. Mantap artikelnya, siap menyongsong one tier, oneday...., wallahua'lam

    BalasHapus
  2. Pemahaman bahwa dalam one tier tidak ada fungsi pengawas, itu keliru. Dalam one tier ada executive, dan ada non-executive. Yang non-executive inilah yang berfungsi sbg pengawas.

    BalasHapus