Tatakelola perusahaan
atau yang lebih dikenal Good Coporate
Governance (GCG) merupakan istilah yang tidak asing lagi di telinga kita.
GCG mulai mendapat perhatian lebih oleh publik Asia sejak terjadinya krisis
finansial Asia yang menyebabkan banyak perusahaan harus gulung tikar. Para peneliti
berpendapat bahwa kejadian krisis finansial Asia ini merupakan dampak dari
kegagalan sistematis dalam penerapan GCG yang ditandai oleh lemahnya sistem
hukum, buruknya kepatuhan dalam standar akuntansi dan pengauditan, supervisi
dewan komisaris yang buruk, penyelenggaraan perbankan yang amburadul dan
pencideraan atas hak-hak pemegang saham. Oleh karena itu, GCG mulai digalakkan
penerapannya untuk memperbaiki keadaan tata kelola perusahaan yang buruk ini. Di
Indonesia, upaya meningkatkan kesadaran dan penerapan GCG telah dilakukan, baik
oleh swasta maupun pemerintah, lebih lanjut artikel ini akan lebih berfokus
pada penerapan GCG di perusahaan yang telah tercatat dalam bursa efek. Banyak
perusahaan telah menyiapkan dan menerapkan sebuah kerangka GCG dalam tubuh
organisasinya. Kerangka GCG memang sudah saatnya diterapkan karena melalui
kerangka dan konsep yang melibatkan organ perusahaan, yang terdiri dari
unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris, dapat terjalin hubungan dan mekanisme
kerja, kewenangan dan tanggung jawab yang harmonis, baik secara internal maupun
eksternal dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan demi kepentingan pemegang
saham (shareholders) maupun pemangku kepentingan lainnya (stakeholders). Dengan
menggunakan konsep GCG, perusahaan akan menciptakan sebuah mekanisme untuk
memonitor, mengatur dan mengambil keputusan yang dapat menyelaraskan
kepentingan yang dimiliki para stakeholders.
Dengan begitu, penerapan GCG dalam tubuh organisasi perusahan merupakan langkah
mitigasi konflik kepentingan diantara pemangku kepentingan.
Dalam
pengimplementasiannya, monitor dan pengawasan merupakan bagian penting yang tak
boleh terlupakan dalam GCG. Kegiatan oversight
atau pengawasan pelaksanaan GCG akan dijalankan oleh dewan komisaris dibantu
oleh komite lainnya, seperti komite audit, dan fungsi audit internal dalam
perusahaan. Melalui audit internal, dewan komisaris akan mendapatkan informasi
terbaru yang menggambarkan bagaimana penerapan GCG oleh tiap daerah fungsional
perusahaan. Selain itu, dewan komisaris juga akan mendapatkan reviu mengenai
pelaksanaan manajemen risiko dan kontrol internal yang dijalankan oleh manajemen.
Dengan begitu, dewan komisaris akan mengetahui kelemahan penerapan GCG yang perlu
diperbaiki dan menjadikan kontrol internal menjadi sumber informasi tentang
indikasi adanya tindakan pelanggaran dan fraud
dalam tubuh perusahaan.
Tak kalah pentingnya dalam membantu tugas
pengawasan dewan komisaris ialah komite audit. Komite audit akan mengawasi
kinerja dari audit internal dan audit eksternal. Selain itu, komite audit juga
akan memonitor ketaatan dan kepatuhan (compliance) perusahaan pada perundang-undangan
yang berlaku. Belajar dari pengalaman krisis finansial Asia, pengawasan dari
dewan komisaris dengan dibantu komite-komite dalam perusahaan menjadi
pengawasan internal yang tidak boleh ditinggalkan demi tercapainya pelaksanaan
GCG yang mendorong pencapaian tujuan perusahaan.
Selain pengawasan dari
dalam internal, pengawasan juga dapat dilakukan oleh pihak lain diluar
perusahaan. Perusahaan tidak beroperasi didalam sebuah lingkungan ekonomi yang
vakum. Perusahaan akan selalu terekspos dengan tekanan pasar dan menjadi subyek
pengawasan pihak-pihak lain di pasar. Salah satu pihak yang menjadi pengawas
eksternal perusahaan ialah media massa. Dengan perkembangan teknologi yang
terus berkembang, berita terbaru sangat mudah untuk didapatkan dan menjadikan media
memiliki peranan yang krusial dalam pelaksanan GCG. Media dapat menjadi “watchdog” bagi perusahaan yang tidak hanya “menggonggong” dengan gunjang-ganjing berita yang disebarkan
tapi juga bisa “menggigit” dengan isi berita dan siaran yang ditayangkan.
Belakang ini kita juga sering melihat, media pers menjadi sumber pertama
terkuaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi, sebagai contoh kasus korupsi
Hambalang dengan disiarkannya pernyataan Nazaruddin di Skype dan menjadi topik
panas pertelevisian serta update
kasus korupsi oleh juru bicara KPK yang sering kita dilihat di layar kaca.
Ketika media pers menjadi sumber informasi pertama bagi publik, berita yang
diangkat akan mendapatkan banyak respon dan kritik. Dengan boomingnya suatu
berita, perhatian publik akan disedot untuk berfokus pada topik utama yang
diangkat dan meningkatkan rasa ingin tahu publik akan kebenaran serta
keberlanjutan dari sebuah berita. Rasa ingin tahu publik yang besar ini akan
mendorong mereka untuk mencari tambahan sumber informasi lain dan akhirnya
menarik kesimpulan apa yang baik dan benar dari berita tersebut. Sama halnya
dengan sebuah perusahaan, media juga akan mengangkat berita baik dan buruk yang
dapat mempengaruhi reputasi perusahaan di mata publik. Media pers, terutama
media pers bisnis, memainkan peranan penting untuk melaporkan tata kelola
perusahaan yang ada di Indonesia dan pelaksanaannya, apakah telah mendorong
pencapaian tujuan perusahaan atau tidak. Sebagai contoh, kasus Bank Century
yang mulai terkuak ketika banyak stasiun pertelevisian menyiarkan kegiatan KPK
dalam menyidik pihak-pihak terkait bail
out Bank Century.
Dengan kekuatan
pemberitaannya, media menciptakan sebuah tekanan dan dapat mendisiplinkan para
manajer dan direktur perusahaan untuk berperilaku sesuai dengan norma sosial yang
dianggap pantas oleh publik. Perusahaan akan menciptakan sebuah peraturan
(policy) yang menjadi sebuah pedoman bagi anggota perusahaan dalam bertindak,
berucap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari
masyarakat demi menjaga reputasi perusahaan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa media pers akan mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk lebih
memperhatikan lingkungan dan memastikan perusahaan untuk mengalokasikan sumber
dayanya untuk pencapaian tujuan perusahaan. Salah satu contoh bagaimana media pers
dapat berpengaruh dengan kebijakan perusahaan ialah dengan mengeluarkan
peringkat yang mengurutkan perusahaan terbaik dan terburuk dalam kategori tertentu.
Sebagai contoh, direktur atau CEO terbaik di Indonesia dan dunia atau peringkat
“the 10th companies with the best and the worst corporate governance
model”. Penilaian peringkat ini dilakukan oleh media pers bukan tanpa dasar
yang kuat. Media pers akan melakukan penilaian berdasarkan pendapat ahli
bisnis, pemerhati pasar dan grup bisnis yang telah memiliki kompetensi dan
keahlian dibidangnya, sehingga publik akan memiliki kepercayaan akan hasil yang
dipaparkan dalam pemeringkatan. Apalagi jika media pers yang mengeluarkan
peringkat tersebut adalah media-media ternama seperti Forbes, Tempo, Times,
atau Bloomberg, serta disiarkan di stasiun televisi yang ternama.
Ini menunjukkan bahwa
media akan memberikan dampak yang besar ketika media dapat diraih oleh grup
yang relevan dengan isi pemberitaannya, sehingga semakin memperbesar penalti
reputasi bagi manajer dan direktur perusahaan untuk bertindak selaras dengan stakeholders. Perusahaan yang masuk dalam salah satu
peringkat terbaik tentunya akan menikmati keuntungan pencitraan baik dari media
tersebut, mengingat peringkat tersebut dapat meningkatkan reputasi dan
perusahaan akan lebih “sounding” di telinga publik. Hal sebaliknya terjadi bagi
perusahaan yang masuk dalam peringkat tidak baik dari media pers. Penilaian ini
akan memberikan pengaruh kepada pandangan publik dan akhirnya dapat mengubah
kepercayaan publik pada perusahaan. Adanya penalti reputasi menjadikan biaya
reputasi bagi perusahaan sangat tinggi. Reputasi menjadi sangat penting bagi
perusahaan karena ini berhubungan aliran dana investasi baru dari pasar
keuangan dan pembelian berulang produk-produk perusahaan oleh masyarakat.
Perusahaan akan kesulitan mendapatkan investasi baru ketika perusahaan telah
dicap buruk oleh para investor dan masyarakat tidak bersimpati kepada
perusahaan yang tidak peduli dengan lingkungannya. Melihat besarnya pengaruh
reputasi pada profitabilitas perusahaan dan kemampuan dalam mengekploitasi
kesempatan bisnis di masa depan, reputasi menjadi penting bagi manajer yang memiliki
self-interest. Manajer tidak hanya
akan peduli dengan image dirinya,
tapi juga dengan image perusahaan
tempat ia bernaung. Manajer akan mengalah pada tekanan lingkungan bukan karena
kepentingan shareholders, tapi lebih
karena para manajer tidak ingin dicap sebagai “bad guys” dalam perusahaan.
Praktik media yang
menjadi “watchdog” bagi perusahaan
telah banyak dilakukan. Sebagai contoh, kasus Enron yang diungkapkan oleh
Bethany Mclean dalam Fortune Magazine
di Amerika. Selain berperan sebagai pengawas, media pers juga dapat membantu
publik untuk menghemat waktu dalam menilai perusahaan dengan menyajikan
data-data performa perusahaan, misalnya Wall
Street Journal yang memberikan sebuah tabel tentang performa penggunaan dana
perusahaan sehingga investor tidak perlu banyak menghabiskan waktu untuk
mengumpulkan data dan melakukan penilaian.
Di Indonesia, peran
media pers mulai berkembang untuk menjadi pengawas bukan saja bagi perusahaan
tapi juga pemerintahaan. Didukung dengan teknologi pemberitaan yang semakin
canggih, media pers Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat. Ini bisa
dilihat dengan kemudahan akses berita dan kecepatan pemberitaan topik terbaru
melalui tablet, PC, bahkan smart phone. Sebagai contoh, adanya headline news di berbagai stasiun televisi dan penyebaran berita melalui
media sosial seperti Twitter. Media pers di Indonesia juga harus memperlengkapi
dan memperbaharui pengetahuan mereka mengenai konsep tata kelola perusahaan
untuk dapat memberitakan isu tata kelola perusahaan, sehingga berita yang
disebarkan bukan hanya sebuah gunjang-ganjing yang malah dapat merugikan.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa media pers memliki peranan penting untuk mengawasi perusahaan
dan mengungkapkan fakta-fakta terkait dengan penyimpangan perusahaan yang dapat
merugikan kepentingan publik. Biaya
reputasi menjadi sangat mahal dan menuntut perusahaan untuk mengambil keputusan
serta melakukan tindakan yang selaras dengan stakeholders. Selain itu, perusahaan juga perlu untuk melakukan
manajemen identitas media sosial demi terjaganya reputasi baik perusahaan di
mata publik.
Oleh Ester Ro Uli Siahaan
Mahasiswi Program S1 Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar