Jumat, 14 Juni 2013

Isu Corporate Governance: Peran Media Dalam Menjadi Pengawas Eksternal Perusahaan



Tatakelola perusahaan atau yang lebih dikenal Good Coporate Governance (GCG) merupakan istilah yang tidak asing lagi di telinga kita. GCG mulai mendapat perhatian lebih oleh publik Asia sejak terjadinya krisis finansial Asia yang menyebabkan banyak perusahaan harus gulung tikar. Para peneliti berpendapat bahwa kejadian krisis finansial Asia ini merupakan dampak dari kegagalan sistematis dalam penerapan GCG yang ditandai oleh lemahnya sistem hukum, buruknya kepatuhan dalam standar akuntansi dan pengauditan, supervisi dewan komisaris yang buruk, penyelenggaraan perbankan yang amburadul dan pencideraan atas hak-hak pemegang saham. Oleh karena itu, GCG mulai digalakkan penerapannya untuk memperbaiki keadaan tata kelola perusahaan yang buruk ini. Di Indonesia, upaya meningkatkan kesadaran dan penerapan GCG telah dilakukan, baik oleh swasta maupun pemerintah, lebih lanjut artikel ini akan lebih berfokus pada penerapan GCG di perusahaan yang telah tercatat dalam bursa efek. Banyak perusahaan telah menyiapkan dan menerapkan sebuah kerangka GCG dalam tubuh organisasinya. Kerangka GCG memang sudah saatnya diterapkan karena melalui kerangka dan konsep yang melibatkan organ perusahaan, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris, dapat terjalin hubungan dan mekanisme kerja, kewenangan dan tanggung jawab yang harmonis, baik secara internal maupun eksternal dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan demi kepentingan pemegang saham (shareholders) maupun pemangku kepentingan lainnya (stakeholders). Dengan menggunakan konsep GCG, perusahaan akan menciptakan sebuah mekanisme untuk memonitor, mengatur dan mengambil keputusan yang dapat menyelaraskan kepentingan yang dimiliki para stakeholders. Dengan begitu, penerapan GCG dalam tubuh organisasi perusahan merupakan langkah mitigasi konflik kepentingan diantara pemangku kepentingan.
Dalam pengimplementasiannya, monitor dan pengawasan merupakan bagian penting yang tak boleh terlupakan dalam GCG. Kegiatan oversight atau pengawasan pelaksanaan GCG akan dijalankan oleh dewan komisaris dibantu oleh komite lainnya, seperti komite audit, dan fungsi audit internal dalam perusahaan. Melalui audit internal, dewan komisaris akan mendapatkan informasi terbaru yang menggambarkan bagaimana penerapan GCG oleh tiap daerah fungsional perusahaan. Selain itu, dewan komisaris juga akan mendapatkan reviu mengenai pelaksanaan manajemen risiko dan kontrol internal yang dijalankan oleh manajemen. Dengan begitu, dewan komisaris akan mengetahui kelemahan penerapan GCG yang perlu diperbaiki dan menjadikan kontrol internal menjadi sumber informasi tentang indikasi adanya tindakan pelanggaran dan fraud dalam tubuh perusahaan.
 Tak kalah pentingnya dalam membantu tugas pengawasan dewan komisaris ialah komite audit. Komite audit akan mengawasi kinerja dari audit internal dan audit eksternal. Selain itu, komite audit juga akan memonitor ketaatan dan kepatuhan (compliance) perusahaan pada perundang-undangan yang berlaku. Belajar dari pengalaman krisis finansial Asia, pengawasan dari dewan komisaris dengan dibantu komite-komite dalam perusahaan menjadi pengawasan internal yang tidak boleh ditinggalkan demi tercapainya pelaksanaan GCG yang mendorong pencapaian tujuan perusahaan.
Selain pengawasan dari dalam internal, pengawasan juga dapat dilakukan oleh pihak lain diluar perusahaan. Perusahaan tidak beroperasi didalam sebuah lingkungan ekonomi yang vakum. Perusahaan akan selalu terekspos dengan tekanan pasar dan menjadi subyek pengawasan pihak-pihak lain di pasar. Salah satu pihak yang menjadi pengawas eksternal perusahaan ialah media massa. Dengan perkembangan teknologi yang terus berkembang, berita terbaru sangat mudah untuk didapatkan dan menjadikan media memiliki peranan yang krusial dalam pelaksanan GCG.  Media dapat menjadi “watchdog” bagi perusahaan yang tidak hanya “menggonggong”  dengan gunjang-ganjing berita yang disebarkan tapi juga bisa “menggigit” dengan isi berita dan siaran yang ditayangkan. Belakang ini kita juga sering melihat, media pers menjadi sumber pertama terkuaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi, sebagai contoh kasus korupsi Hambalang dengan disiarkannya pernyataan Nazaruddin di Skype dan menjadi topik panas pertelevisian serta update kasus korupsi oleh juru bicara KPK yang sering kita dilihat di layar kaca. Ketika media pers menjadi sumber informasi pertama bagi publik, berita yang diangkat akan mendapatkan banyak respon dan kritik. Dengan boomingnya suatu berita, perhatian publik akan disedot untuk berfokus pada topik utama yang diangkat dan meningkatkan rasa ingin tahu publik akan kebenaran serta keberlanjutan dari sebuah berita. Rasa ingin tahu publik yang besar ini akan mendorong mereka untuk mencari tambahan sumber informasi lain dan akhirnya menarik kesimpulan apa yang baik dan benar dari berita tersebut. Sama halnya dengan sebuah perusahaan, media juga akan mengangkat berita baik dan buruk yang dapat mempengaruhi reputasi perusahaan di mata publik. Media pers, terutama media pers bisnis, memainkan peranan penting untuk melaporkan tata kelola perusahaan yang ada di Indonesia dan pelaksanaannya, apakah telah mendorong pencapaian tujuan perusahaan atau tidak. Sebagai contoh, kasus Bank Century yang mulai terkuak ketika banyak stasiun pertelevisian menyiarkan kegiatan KPK dalam menyidik pihak-pihak terkait bail out Bank Century.
Dengan kekuatan pemberitaannya, media menciptakan sebuah tekanan dan dapat mendisiplinkan para manajer dan direktur perusahaan untuk berperilaku sesuai dengan norma sosial yang dianggap pantas oleh publik. Perusahaan akan menciptakan sebuah peraturan (policy) yang menjadi sebuah pedoman bagi anggota perusahaan dalam bertindak, berucap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari masyarakat demi menjaga reputasi perusahaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa media pers akan mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk lebih memperhatikan lingkungan dan memastikan perusahaan untuk mengalokasikan sumber dayanya untuk pencapaian tujuan perusahaan. Salah satu contoh bagaimana media pers dapat berpengaruh dengan kebijakan perusahaan ialah dengan mengeluarkan peringkat yang mengurutkan perusahaan terbaik dan terburuk dalam kategori tertentu. Sebagai contoh, direktur atau CEO terbaik di Indonesia dan dunia atau peringkat “the 10th companies with the best and the worst corporate governance model”. Penilaian peringkat ini dilakukan oleh media pers bukan tanpa dasar yang kuat. Media pers akan melakukan penilaian berdasarkan pendapat ahli bisnis, pemerhati pasar dan grup bisnis yang telah memiliki kompetensi dan keahlian dibidangnya, sehingga publik akan memiliki kepercayaan akan hasil yang dipaparkan dalam pemeringkatan. Apalagi jika media pers yang mengeluarkan peringkat tersebut adalah media-media ternama seperti Forbes, Tempo, Times, atau Bloomberg, serta disiarkan di stasiun televisi yang ternama.
Ini menunjukkan bahwa media akan memberikan dampak yang besar ketika media dapat diraih oleh grup yang relevan dengan isi pemberitaannya, sehingga semakin memperbesar penalti reputasi bagi manajer dan direktur perusahaan untuk bertindak selaras dengan stakeholders.  Perusahaan yang masuk dalam salah satu peringkat terbaik tentunya akan menikmati keuntungan pencitraan baik dari media tersebut, mengingat peringkat tersebut dapat meningkatkan reputasi dan perusahaan akan lebih “sounding” di telinga publik. Hal sebaliknya terjadi bagi perusahaan yang masuk dalam peringkat tidak baik dari media pers. Penilaian ini akan memberikan pengaruh kepada pandangan publik dan akhirnya dapat mengubah kepercayaan publik pada perusahaan. Adanya penalti reputasi menjadikan biaya reputasi bagi perusahaan sangat tinggi. Reputasi menjadi sangat penting bagi perusahaan karena ini berhubungan aliran dana investasi baru dari pasar keuangan dan pembelian berulang produk-produk perusahaan oleh masyarakat. Perusahaan akan kesulitan mendapatkan investasi baru ketika perusahaan telah dicap buruk oleh para investor dan masyarakat tidak bersimpati kepada perusahaan yang tidak peduli dengan lingkungannya. Melihat besarnya pengaruh reputasi pada profitabilitas perusahaan dan kemampuan dalam mengekploitasi kesempatan bisnis di masa depan, reputasi menjadi penting bagi manajer yang memiliki self-interest. Manajer tidak hanya akan peduli dengan image dirinya, tapi juga dengan image perusahaan tempat ia bernaung. Manajer akan mengalah pada tekanan lingkungan bukan karena kepentingan shareholders, tapi lebih karena para manajer tidak ingin dicap sebagai “bad guys” dalam perusahaan. 
Praktik media yang menjadi “watchdog” bagi perusahaan telah banyak dilakukan. Sebagai contoh, kasus Enron yang diungkapkan oleh Bethany Mclean dalam Fortune Magazine di Amerika. Selain berperan sebagai pengawas, media pers juga dapat membantu publik untuk menghemat waktu dalam menilai perusahaan dengan menyajikan data-data performa perusahaan, misalnya Wall Street Journal yang memberikan sebuah tabel tentang performa penggunaan dana perusahaan sehingga investor tidak perlu banyak menghabiskan waktu untuk mengumpulkan data dan melakukan penilaian.
Di Indonesia, peran media pers mulai berkembang untuk menjadi pengawas bukan saja bagi perusahaan tapi juga pemerintahaan. Didukung dengan teknologi pemberitaan yang semakin canggih, media pers Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat. Ini bisa dilihat dengan kemudahan akses berita dan kecepatan pemberitaan topik terbaru melalui tablet, PC, bahkan smart phone. Sebagai contoh, adanya headline news di berbagai stasiun televisi dan penyebaran berita melalui media sosial seperti Twitter. Media pers di Indonesia juga harus memperlengkapi dan memperbaharui pengetahuan mereka mengenai konsep tata kelola perusahaan untuk dapat memberitakan isu tata kelola perusahaan, sehingga berita yang disebarkan bukan hanya sebuah gunjang-ganjing yang malah dapat merugikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa media pers memliki peranan penting untuk mengawasi perusahaan dan mengungkapkan fakta-fakta terkait dengan penyimpangan perusahaan yang dapat merugikan kepentingan publik.  Biaya reputasi menjadi sangat mahal dan menuntut perusahaan untuk mengambil keputusan serta melakukan tindakan yang selaras dengan stakeholders. Selain itu, perusahaan juga perlu untuk melakukan manajemen identitas media sosial demi terjaganya reputasi baik perusahaan di mata publik.

Oleh Ester Ro Uli Siahaan
Mahasiswi Program S1 Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar