Isu Good Corporate Governance menjadi kian
populer di Indonesia sejak terjadinya krisis finansial tahun 1997-1998.
Penyebab krisis ini adalah ada anggapan bahwa Corporate Governance di Indonesia lemah. Tidak bisa dipungkiri
bahwa Indonesia saat ini memiliki kredibilitas yang buruk di mata
Internasional. Korupsi, kolusi, kejahatan perbankan, terorisme, sampai kepada
pelayanan pemerintahan yang tidak cukup meyakinkan untuk mendatangkan investor
ke Indonesia. Disamping itu, terdapat banyak kasus
pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan di pasar modal. Sebut saja contoh
kasus insider trading di Perusahaan
Gas Negara atau kasus pembobolan deposito PT Elnusa di Bank Mega. Hal-hal ini
yang sekiranya menunjukkan bahwa GCG dibutuhkan untuk mengarahkan perusahaan
supaya dapat mencapai tujuannya dengan salah satunya mencegah terjadinya kecurangan
di dalam perusahaan. GCG menunjukkan perannya sebagai standar atau tolak
ukur untuk Indonesia, supaya kita mengetahui seberapa ukuran yang harus kita
capai untuk mengubah persepsi dunia luar akan Indonesia.
Badan di
Indonesia sendiri yang berusaha menanamkan nilai-nilai GCG adalah BAPEPAM
(Badan Pengawas Pasar Modal). Nilai-nilai ditanamkan Bapepam seperti mendorong
implementasi prinsip-prinsip GCG di Indonesia, dengan menerbitkan peraturan dan
kebijakan yang terkait dengan GCG seperti penerapan prinsip-prinsip kewajaran
terutama untuk perlindungan kepentingan dan hak pemegang saham, ketentuan
mengenai benturan kepentingan dalam transaksi-transaksi tertentu, ketentuan
mengenai penawaran tender, keputusan Bapepam mengenai penerapan prinsip
responsibilitas, akuntabilitas seperti keputusan mengenai merger, dan akuisisi
perusahaan publik.
GCG mempunyai dua teori utama yakni stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory memandang manajemen sebagai pihak yang dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Sementara itu, agency theory memandang manajemen perusahaan sebagai agen bagi para pemegang saham yang bertindak dengan kesadaran bagi kepentingannya sendiri sehingga akan muncul konflik kepentingan. Agency theory menjadi lebih populer karena mencerminkan kenyataan yang ada. Di samping itu ada governance structure yaitu struktur hubungan pertanggungjawaban dan pembagian peran di antara berbagai organ utama perusahaan yakni pemegang saham, komisaris, dan direksi. Struktur perusahaan harus didesain untuk mendukung jalannya aktivitas organisasi secara bertanggungjawab dan terkendali. Ada dua struktur yaitu one-tier system dan two-tier system dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Sistem one-tier digambarkan
sebagai sebuah struktur dimana hanya ada pimpinan tanpa adanya pemisahan tersendiri
untuk fungsi pengawasan dan tidak batasan dalam fungsinya. Jelas sistem ini
mempunyai kekurangan karena tidak adanya sistem pengawasan. Namun jika dilihat
dari sisi positifnya, sistem ini membuat pemimpin organisasi dapat leluasa
memberikan arahan dan perintah berdasarkan visi dan misi perusahaan. Berbeda
dengan one-tier, pada sistem two-tier terdapat badan pengawas yang
mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Perbedaan mendasar
antara one-tier dan
two-tier adalah
pada sistem one-tier tidak
jelas siapa yang menjalankan fungsi pengawasan karena yang ada hanya fungsi
pengambil kebijakan yang dijalankan oleh Chairman dan
fungsi pelaksana kebijakan yang dijalankan oleh CEO.
Sistem two-tier sangat
menjanjikan performa organisasi yang bagus. Hal ini terkait dengan adanya dewan
komisaris yang merupakan pemegang kekuasaan sebagai pengawas sehingga
diharapkan akan dapat mencegah atau mengurangi kecurangan. Tetapi ada-tidaknya
penyelewengan dan bagus-tidaknya performa sebuah perusahaan juga sangat
bergantung kepada sumber daya manusia yang ada dalam organisasi itu. Sistem
manajemen yang baik yang meliputi sistem perekrutan yang ketat dan teruji akan
menghasilkan orang-orang terbaik dalam bidangnya. Aspek lain yang dapat
menjadikan struktur two-tier berjalan dengan baik adalah kredibilitas
komite audit yang adalah salah satu pilar penghubung antara dewan komisaris dan
dewan direksi karena masih banyak komisaris yang tidak mengetahui secara baik
fungsi dan perannya di sebuah perusahaan.
Indonesia menganut paham two-tier system yang terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham),
Board of Director, dan Executive Managers (manajemen yang akan
menjalankan aktivitas) sedangkan untuk model two-tier system terdiri dari RUPS, Dewan Komisaris, Dewan Direktur,
dan Manajer Eksekutif. Struktur ini memisahkan keanggotaan dewan, yakni antara
keanggotaan dewan komisaris sebagai pengawas dan dewan direksi sebagai
eksekutif perusahaan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya mengikuti
model two-tier system yang merupakan
warisan dari Belanda. Namun, sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas
tahun 1995 yang menyatakan bahwa anggota dewan direksi diangkat dan
diberhentikan oleh RUPS begitu juga sebaliknya anggota dewan komisaris diangkat
dan diberhentikan oleh RUPS. Dengan demikian, dewan komisaris maupun dewan
direksi bertanggungjawab terhadap RUPS.
Dengan melihat posisi yang sejajar antara dewan komisaris dan dewan
direksi mengakibatkan kedudukan dewan komisaris di Indonesia tidak sekuat
seperti dewan komisaris di negara-negara Eropa karena dewan komisaris tidak
berwenang mengangkat dan memberhentikan dewan direksi. Dewan direksi tidak
harus bertanggungjawab terhadap dewan komisaris. Hal ini dapat memunculkan
pemahaman bahwa dewan komisaris tidak mengawasi dewan direksi tetapi malah
menjadi “berteman” karena kedudukan yang sejajar. Di sisi lain, ada one-tier system yang dianut oleh
perusahaan-perusahaan di Inggris dan Amerika yang melihat berdasarkan fakta
bahwa perusahaan-perusahaan di kedua negara ini memang biasanya sukses dalam
menerapkan konsep GCGnya. Memang, one-tier
system tidak ada yang berperan sebagai pengawas untuk Executive Managers sehingga mungkin ada risiko pemimpin yang
diktator. Tetapi, kedua sistem ini memiliki kekuatan dan kelemahan
masing-masing tergantung di negara mana sistem ini diterapkan. Apabila kita lihat di negara Amerika dan
Inggris yang memang cara berpikir, bertindak, dan menjalankan bisnis serta
penegakan hukum sudah lebih maju dibandingkan Indonesia yang masih sarat dengan
KKN dan kelemahan hukum memang cocok untuk memakai one-tier system. Di Indonesia sendiri rasanya belum bisa dijalankan
sistem seperti ini karena adanya konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu
yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, dan
direktur perusahaan, tidak efektifnya dewan komisaris, dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia sendiri.
Kelebihan dan kelemahan kedua sistem
ini harus dipertimbangkan oleh perusahaan di suatu negara tatkala ingin
mengadopsi salah satu diantara keduanya. Bisa saja Indonesia mungkin menganut one-tier
system apabila situasi dan kondisi negara sudah seperti Inggris atau
Amerika. Namun, Indonesia bisa pula tetap menganut two-tier system
dengan memperhatikan pemilihan dewan komisaris dan dewan direksi yang
independen, memiliki integritas, dan berkompeten. Jadi, apakah Indonesia siap
untuk mengadopsi sistem one-tier? Rasa-rasanya melihat keadaan sekarang
sudah pasti jawabannya adalah tidak. Namun, mari kita berharap seiring berjalannya
waktu proses tatakelola perusahaan di Indonesia semakin membaik sehingga
apabila nantinya Indonesia siap menerapkan sistem one-tier maka memang
di masa itu nantinya telah terjadi perubahan besar atau transformasi dalam bidang
sosial, hukum, dan politik.
Oleh: Kasih Silitonga
Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Mantap artikelnya, siap menyongsong one tier, oneday...., wallahua'lam
BalasHapusPemahaman bahwa dalam one tier tidak ada fungsi pengawas, itu keliru. Dalam one tier ada executive, dan ada non-executive. Yang non-executive inilah yang berfungsi sbg pengawas.
BalasHapus