Sabtu, 15 Juni 2013

Shareholder Value dan Stakeholder Value dalam Tata Kelola Perusahaan

Dalam prinsip tata kelola perusahaan, manajemen merupakan agen yang bertindak untuk memaksimalisasi kepentingan shareholder. Namun dalam melakukan kegiatannya, perusahaan berinteraksi tidak hanya dengan shareholder yang memberikan modal, namun juga karyawan, konsumen, pemerintah, pemasok, kreditur, masyarakat sekitar dan lingkungan. Pihak-pihak berkepentingan yang disebut dengan stakeholder ini memiliki peran masing-masing dalam sistem tata kelola perusahaan.

            Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang berorientasi kepada shareholder atau pihak investor eksternal dimana dalam prinsip tata kelola perusahaan, pemegang saham sebagai stakeholder terpenting. Prinsip shareholder value yang diterapkan perusahaan-perusahaan di Amerika memandang bahwa hanya pemegang saham yang memilki hak (klaim) terbesar terhadap aktivitas perusahaan sehingga pemegang saham ini memilki insentif untuk menanggung risiko dan menanamkan dananya demi peningkatan peforma keuangan perusahaan. Kompensasi manajemen pun diberikan berdasarkan tingkat profitabilias yang dihasilkannya. Selain Amerika, negara dengan tradisi hukum Anglo-Saxon lain juga menerapkan prinsip shareholder value seperti Inggris Raya, Kanada, dan Australia.

            Berbeda dengan negara-negara tersebut, sebagian besar perusahaan di benua Eropa dan Asia menganut prinsip stakeholder value, dimana mereka menganggap bukan hanya pemegang saham yang memilki klai terbesar atas perusahaan, namun juga para stakeholder  lain yang kepentingannya bisa mempengaruhi proses pembuatan keputusan dalam perusahaan. Sebagai contoh, karyawan merupakan stakeholder yang berpengaruh sehingga kesejahteraan sangat diperhatikan misalkan dengan memberikan perusahaan meskipun dalam persentase kecil. Kompensasi manajemen pun tidak diberikan berdasarkan dengan tingkat profitabilitas yang dihasilkannya.

Perbedaan Orientasi Shareholder dan Stakeholder

            Dalam penerapan sistem tata kelola perusaaan di negara yang menganut prinsip shareholder dan stakeholder memilki beberapa perbedaan yang cukup mendasar. Selain perbedaan prinsip mengenai kepentingan pihak yang dilayani, kedua orientasi ini juga berbeda dalam hal tujuan. Perusahaan dengan orientasi shareholder lebih berfokus pada peningkatan profitabilitas dan efisiensi. Sedangkan orientasi stakeholder tidak terlalu berfokus pada profit melainkan pada value of money. Selain itu perusahaan yang menerapkan orientasi ini lebih cenderung berfokus pada keberlangsusngan, ketahanan, dan pertumbuhan jangka panjang.

            Perbedaan juga terdapat dalam hal struktur kepemilikan. Orientasi shareholder umumnya diterapkan pada perusahaan yang kepemilkannya tersebar. Manajemen diberikan kebebasan namun memiliki tekanan pasar seperti pengambilalihan. Seluruh pemrgang saham membutuhkan perlindungan dengan perhatian khusus kepada tindakan manajemen. Sedangkan perusahaan yang berorientasi pada stakeholder, struktur kepemilikannya umumnya terbatas pada satu atau dua sebagai pemegang saham mayoritas dan memiliki pengaruh dan kendali atas manajemen. Akibatnya kepentingan pemegang saham minoritas tidak dapat dilindungi dengan baik dan membutuhkan dukunagan komisaris independen.

            Dalam hal struktur board, perusahaan yang berorientasi shareholder memilki sistem single-tier board dimana dalam board tersebut tidak dipisahkan antara dewan eksekutif yang bertugas dalam menjalankan perusahaan dengan dewan non-eksekutif yang bertugas untuk mengawasi. Komisaris dan CEO bekerja bersama-sama dan terdapat beberapa komite lain yang membantu tugas board seperti komite audit, komite remunerasi dan nominasi. Sedangkan perusahaan dengan orientasi stakeholder memisahkan 2 fungsi board antara dewan komisaris yang bertugas dalam mengawasi dan dewan direksi yang bertugas dalam menjalankan aktivitas operasi perusahaan. Pemisahan fungsi ini berperan dalam menjaga independensi fungsi pengawasan dari pengarih eksekutif.

Shareholder vs Stakeholder

            Perusahaan yang menerapkan prinsip shareholder value berorientasi pada pasar yang dalam penerapan corporate governance-nya melihat pemegang saham sebagai stakeholder terpenting bagi perusahaan. Hal ini tidak terlepas dari struktur pembiayaan perusahaan yang umumnya berasal dari pasar modal. Dalam perusahaan dengan model outsider ini, kekuatan pasar menjadi hal yang berpengaruh dalam proses alokasi sumber dayanya, dimana perusahaan mengadaptasi strategi mereka berdasarkan permitaan pasar modal.

            Peforma dan tranparansi serta akuntabilitas perusahaan akan tercermin dalam pasar dan mempengaruhi keputusan investor untuk menanamkan modalnya atau tidak. Pemegang saham dianggap sebagai pihak dengan klaim terbesar karena mereka mau menangung risiko dan menanamkan modalnya untuk kelangsungan peforma perusahaan. Hal ini menyebabkan pemegang saham dan pasar memiliki kekuatan untuk mendapatkan insentif dan mendisiplinkan sistem tata kelola serta menyelaraskan antara kepentingan pemegang saham dan kepentingan manajemen.

Baik manajemen dan pemegang saham pada dasarnya memilki kepentingannya masing-masing dimana manajemen memilki kecenderungan untu bersifat oportunis dan dapat merugikan pemegang saham. Prinsip shareholder value yang berorientasi pada pasar iniah yang kemudian dianggap dapat menjadi sitem pengendalain dari eksteranl yang secara efektif dapat mengawasi dan meminimalisir sifat oportunis manajemen sehingga kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham dapat berjalan selaras. Bentuk pendisiplinan yang dilakukan dapat berupa penerapan skema kompensasi eksekutif, seperti bonus yang diberikan berdasarkan performa perusahaan, ­stock option, dan pemutusahan hubungan kerja berdasarkan peforma.

Sebaliknya, perusahaan yang menerapkan prinsip stakeholder value menganggap bahwa stakeholder selain shareholder juga memilki klaim atas perusahaan dan kepentingan mereka juga hal yang berpengaruh. Interaksi ditentukan dari peraturan formal maupun informal yang dibangun berdasarkan hubungan sejarah. Dalam model insider ini, struktur pendanaan perusahaan lebih banyak didominasi dari utang. Perusahaan-perusahaan di negara seperti Jerman dan Austria misalkan, mereka mengadopsi peraturan model insider dengan menerapkan standar jaminan karyawan dan keterlibatan karyawan dalam paraktik perusahaan. Sistem tata kelola dengan sistem pengendalian eksternal tidak menjadi yang utama, namun sedikit mengadopsi beberapa sistem seperti stock option.

Permasalahan Dalam Orientasi Shareholder

Penerapan prinsip shareholder value yang menekankan pada kepentingan shareholder ini menuai beberapa kiritik.  Ada kritik yang menekankan bahwa sebenarnya karyawan juga memilki hak (klaim) atas perusahaan. Karyawan yang bekerja pada perusahaan ini seolah-olah merupakan bentuk investasi dalam bentuk sumber daya manusia, dimana karyawan tersebut bergantung hanya pada perusahaan bersangkutan. Sehingga prinsip yang hanya terpusat pada pemegang saham ini dianggap tidak efektif dalam mendukung pelaksanaan GCG.

Prinsip corporate governance di Amerika contohnya, bisa dilihat sebagai sebuah sistem yang memilki interaksi antar masing-masing elemennya. Praktik yang berorientasi pada pasar modal membuat sistem GCG pada perusahaan-perusahaan Amerika mempunyai hubungan yang sangat rumit.  Setiap mekanisme dalam sistem bergantung pada mekanisme lain yang mendukung keseleruhuan sistem. Pembatasan atau kegagalan dalam masing-masing mekanisme dapat mengakibatkan sistem tidak berfungsi. Tidak berfungsinya sistem ini terlihat jelas dalam kasus penggelembungan dalam pasar modal serta kasus Enron dan Worldcom dimana pelanggaran prinsip CG ini mendorong munculnya krisis dalam perekonomian Amerika.

Selain hubungan yang kuat antara manajemen dan pemegang saham, agency problem dalam perusahaan orientasi shareholder sering didasarkan akibat terlalu besarnya insentif bagi manajemen yang diberikan bonus berdasarkan ekuitas perusahaan, terlalu sedikitnya tanggung jawab investor sebagai pemegang saham, dan terlalu sedikit jaminan keamanan dari komisaris independen.

Permasalahan Dalam Orientasi Stakeholder

Dalam jurnalnya, Letza, Sun, dan Kirkbride (2004) menyebutkan bahwa prinsip orientasi stakeholder lalai dalam membedakan bahwa pada dasarnya perusahaan tidak sama dengan intitusi sosial lain. Terdapat perdebatan dalam teori hukum perusahaan apakah perusahaan sebagai badan hukum benar-benar sebagai sebuah badan (real person) atau sebagai badan bentukan (artificial person). Prinsip stakeholder yang ada saat ini menganggap perusahaan sebagai entitas sosial dan memang merupakan sebuah badan sendiri (real personality). Hal ini berarti prinsip stakeholder melihat perusahaan sebagai sebuah badan sendiri yang independen dari anggota-anggotanya, dan menggambarkan perusahaan sebagai entitas kosong dimana seluruh stakeholder merupakan pihak eksternal dan berpengaruh pada perusahaan. Hal ini mengabaikan proses sesungguhnya dari inkorporasi, dimana perusahaan merupakan konstituen dari anggota-anggotanya. Tanpa anggotanya, tidak ada perusahaan yang legal secara hukum. Dalam hukum perusahaan, perusahaan dilihat sebagai hal yang kompleks, dimana ia hrus menjaga hubungan dengan para anggotanya, dan dalam waktu yang sama berdiri sebagai badan hukum terpisah dari anggota-anggotanya. Hal inilah yang diabaikan oleh prinsip stakeholding.

Selain itu permasalahan yang menarik adalah terkait insentif yang diberikan kepada karyawan. Di Jerman dan Jepang, pengendalian manajemen sangatlah mudah dan tidak terlalu mahal, dimana komitmen karyawan juga tinggi. Namun bersamaan dengan ini penghargaan kepada manajemen juga rendah. Berbeda dengan pinsip shareholder value yang memberikan kompensasi sesuai dengan tingkat performa sehingga mereka terinsentif untu bekerja baik dan tidak bertindak oportunis. Rendahnya penghargaan kepada manajemen ini menyebabkan kurangnya insentif bagi manajemen untuk bekerja baik sesuai kepentingan para stakeholder. Terlebih lagi, rendahnya tingkat kompensasi manajemen dapat berdampak pada peforma perusahaan.

Penutup

Pada dasarnya penerapan prinsip shareholder maupun stakeholder value  memilki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Penerapan prinsip ini juga tidak terlepas dari faktor eksternal seperti struktur perekonomian, bisnis, dan hukum di suatu negara. Tata kelola perusahaan berfungsi dalam menyeimbangkan antara kepentingan manajemen dan semua pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, baik shareholder maupun stakeholder lainnya.


Pada kenyataan dalam penerapannya, terjadi pergeseran prinsip yang dinamis antara satu prinsip ke prinsip lain. Sebagai contoh, negara Jerman dan Jepang yang sebelumnya menerapkan prinsip stakeholder, kini mulai bergeser menuju prinsip shareholder dan orientasi pasar akibat pengaruh globalisasi dan persaingan antar negara. Hal ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya, prinsip tata kelola perusahaan terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Prinsip tata kelola baik shareholder maupun stakeholder value tidak dibuat dan ditetapkan sebagai solusi yang tetap selama-lamanya, dimana keduanya dapat mempengaruhi dan bergeser satu sama lain.


Oleh: Dian Puspita Rachmat 
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Jumat, 14 Juni 2013

Isu Corporate Governance: Peran Media Dalam Menjadi Pengawas Eksternal Perusahaan



Tatakelola perusahaan atau yang lebih dikenal Good Coporate Governance (GCG) merupakan istilah yang tidak asing lagi di telinga kita. GCG mulai mendapat perhatian lebih oleh publik Asia sejak terjadinya krisis finansial Asia yang menyebabkan banyak perusahaan harus gulung tikar. Para peneliti berpendapat bahwa kejadian krisis finansial Asia ini merupakan dampak dari kegagalan sistematis dalam penerapan GCG yang ditandai oleh lemahnya sistem hukum, buruknya kepatuhan dalam standar akuntansi dan pengauditan, supervisi dewan komisaris yang buruk, penyelenggaraan perbankan yang amburadul dan pencideraan atas hak-hak pemegang saham. Oleh karena itu, GCG mulai digalakkan penerapannya untuk memperbaiki keadaan tata kelola perusahaan yang buruk ini. Di Indonesia, upaya meningkatkan kesadaran dan penerapan GCG telah dilakukan, baik oleh swasta maupun pemerintah, lebih lanjut artikel ini akan lebih berfokus pada penerapan GCG di perusahaan yang telah tercatat dalam bursa efek. Banyak perusahaan telah menyiapkan dan menerapkan sebuah kerangka GCG dalam tubuh organisasinya. Kerangka GCG memang sudah saatnya diterapkan karena melalui kerangka dan konsep yang melibatkan organ perusahaan, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris, dapat terjalin hubungan dan mekanisme kerja, kewenangan dan tanggung jawab yang harmonis, baik secara internal maupun eksternal dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan demi kepentingan pemegang saham (shareholders) maupun pemangku kepentingan lainnya (stakeholders). Dengan menggunakan konsep GCG, perusahaan akan menciptakan sebuah mekanisme untuk memonitor, mengatur dan mengambil keputusan yang dapat menyelaraskan kepentingan yang dimiliki para stakeholders. Dengan begitu, penerapan GCG dalam tubuh organisasi perusahan merupakan langkah mitigasi konflik kepentingan diantara pemangku kepentingan.
Dalam pengimplementasiannya, monitor dan pengawasan merupakan bagian penting yang tak boleh terlupakan dalam GCG. Kegiatan oversight atau pengawasan pelaksanaan GCG akan dijalankan oleh dewan komisaris dibantu oleh komite lainnya, seperti komite audit, dan fungsi audit internal dalam perusahaan. Melalui audit internal, dewan komisaris akan mendapatkan informasi terbaru yang menggambarkan bagaimana penerapan GCG oleh tiap daerah fungsional perusahaan. Selain itu, dewan komisaris juga akan mendapatkan reviu mengenai pelaksanaan manajemen risiko dan kontrol internal yang dijalankan oleh manajemen. Dengan begitu, dewan komisaris akan mengetahui kelemahan penerapan GCG yang perlu diperbaiki dan menjadikan kontrol internal menjadi sumber informasi tentang indikasi adanya tindakan pelanggaran dan fraud dalam tubuh perusahaan.
 Tak kalah pentingnya dalam membantu tugas pengawasan dewan komisaris ialah komite audit. Komite audit akan mengawasi kinerja dari audit internal dan audit eksternal. Selain itu, komite audit juga akan memonitor ketaatan dan kepatuhan (compliance) perusahaan pada perundang-undangan yang berlaku. Belajar dari pengalaman krisis finansial Asia, pengawasan dari dewan komisaris dengan dibantu komite-komite dalam perusahaan menjadi pengawasan internal yang tidak boleh ditinggalkan demi tercapainya pelaksanaan GCG yang mendorong pencapaian tujuan perusahaan.
Selain pengawasan dari dalam internal, pengawasan juga dapat dilakukan oleh pihak lain diluar perusahaan. Perusahaan tidak beroperasi didalam sebuah lingkungan ekonomi yang vakum. Perusahaan akan selalu terekspos dengan tekanan pasar dan menjadi subyek pengawasan pihak-pihak lain di pasar. Salah satu pihak yang menjadi pengawas eksternal perusahaan ialah media massa. Dengan perkembangan teknologi yang terus berkembang, berita terbaru sangat mudah untuk didapatkan dan menjadikan media memiliki peranan yang krusial dalam pelaksanan GCG.  Media dapat menjadi “watchdog” bagi perusahaan yang tidak hanya “menggonggong”  dengan gunjang-ganjing berita yang disebarkan tapi juga bisa “menggigit” dengan isi berita dan siaran yang ditayangkan. Belakang ini kita juga sering melihat, media pers menjadi sumber pertama terkuaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi, sebagai contoh kasus korupsi Hambalang dengan disiarkannya pernyataan Nazaruddin di Skype dan menjadi topik panas pertelevisian serta update kasus korupsi oleh juru bicara KPK yang sering kita dilihat di layar kaca. Ketika media pers menjadi sumber informasi pertama bagi publik, berita yang diangkat akan mendapatkan banyak respon dan kritik. Dengan boomingnya suatu berita, perhatian publik akan disedot untuk berfokus pada topik utama yang diangkat dan meningkatkan rasa ingin tahu publik akan kebenaran serta keberlanjutan dari sebuah berita. Rasa ingin tahu publik yang besar ini akan mendorong mereka untuk mencari tambahan sumber informasi lain dan akhirnya menarik kesimpulan apa yang baik dan benar dari berita tersebut. Sama halnya dengan sebuah perusahaan, media juga akan mengangkat berita baik dan buruk yang dapat mempengaruhi reputasi perusahaan di mata publik. Media pers, terutama media pers bisnis, memainkan peranan penting untuk melaporkan tata kelola perusahaan yang ada di Indonesia dan pelaksanaannya, apakah telah mendorong pencapaian tujuan perusahaan atau tidak. Sebagai contoh, kasus Bank Century yang mulai terkuak ketika banyak stasiun pertelevisian menyiarkan kegiatan KPK dalam menyidik pihak-pihak terkait bail out Bank Century.
Dengan kekuatan pemberitaannya, media menciptakan sebuah tekanan dan dapat mendisiplinkan para manajer dan direktur perusahaan untuk berperilaku sesuai dengan norma sosial yang dianggap pantas oleh publik. Perusahaan akan menciptakan sebuah peraturan (policy) yang menjadi sebuah pedoman bagi anggota perusahaan dalam bertindak, berucap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari masyarakat demi menjaga reputasi perusahaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa media pers akan mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk lebih memperhatikan lingkungan dan memastikan perusahaan untuk mengalokasikan sumber dayanya untuk pencapaian tujuan perusahaan. Salah satu contoh bagaimana media pers dapat berpengaruh dengan kebijakan perusahaan ialah dengan mengeluarkan peringkat yang mengurutkan perusahaan terbaik dan terburuk dalam kategori tertentu. Sebagai contoh, direktur atau CEO terbaik di Indonesia dan dunia atau peringkat “the 10th companies with the best and the worst corporate governance model”. Penilaian peringkat ini dilakukan oleh media pers bukan tanpa dasar yang kuat. Media pers akan melakukan penilaian berdasarkan pendapat ahli bisnis, pemerhati pasar dan grup bisnis yang telah memiliki kompetensi dan keahlian dibidangnya, sehingga publik akan memiliki kepercayaan akan hasil yang dipaparkan dalam pemeringkatan. Apalagi jika media pers yang mengeluarkan peringkat tersebut adalah media-media ternama seperti Forbes, Tempo, Times, atau Bloomberg, serta disiarkan di stasiun televisi yang ternama.
Ini menunjukkan bahwa media akan memberikan dampak yang besar ketika media dapat diraih oleh grup yang relevan dengan isi pemberitaannya, sehingga semakin memperbesar penalti reputasi bagi manajer dan direktur perusahaan untuk bertindak selaras dengan stakeholders.  Perusahaan yang masuk dalam salah satu peringkat terbaik tentunya akan menikmati keuntungan pencitraan baik dari media tersebut, mengingat peringkat tersebut dapat meningkatkan reputasi dan perusahaan akan lebih “sounding” di telinga publik. Hal sebaliknya terjadi bagi perusahaan yang masuk dalam peringkat tidak baik dari media pers. Penilaian ini akan memberikan pengaruh kepada pandangan publik dan akhirnya dapat mengubah kepercayaan publik pada perusahaan. Adanya penalti reputasi menjadikan biaya reputasi bagi perusahaan sangat tinggi. Reputasi menjadi sangat penting bagi perusahaan karena ini berhubungan aliran dana investasi baru dari pasar keuangan dan pembelian berulang produk-produk perusahaan oleh masyarakat. Perusahaan akan kesulitan mendapatkan investasi baru ketika perusahaan telah dicap buruk oleh para investor dan masyarakat tidak bersimpati kepada perusahaan yang tidak peduli dengan lingkungannya. Melihat besarnya pengaruh reputasi pada profitabilitas perusahaan dan kemampuan dalam mengekploitasi kesempatan bisnis di masa depan, reputasi menjadi penting bagi manajer yang memiliki self-interest. Manajer tidak hanya akan peduli dengan image dirinya, tapi juga dengan image perusahaan tempat ia bernaung. Manajer akan mengalah pada tekanan lingkungan bukan karena kepentingan shareholders, tapi lebih karena para manajer tidak ingin dicap sebagai “bad guys” dalam perusahaan. 
Praktik media yang menjadi “watchdog” bagi perusahaan telah banyak dilakukan. Sebagai contoh, kasus Enron yang diungkapkan oleh Bethany Mclean dalam Fortune Magazine di Amerika. Selain berperan sebagai pengawas, media pers juga dapat membantu publik untuk menghemat waktu dalam menilai perusahaan dengan menyajikan data-data performa perusahaan, misalnya Wall Street Journal yang memberikan sebuah tabel tentang performa penggunaan dana perusahaan sehingga investor tidak perlu banyak menghabiskan waktu untuk mengumpulkan data dan melakukan penilaian.
Di Indonesia, peran media pers mulai berkembang untuk menjadi pengawas bukan saja bagi perusahaan tapi juga pemerintahaan. Didukung dengan teknologi pemberitaan yang semakin canggih, media pers Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat. Ini bisa dilihat dengan kemudahan akses berita dan kecepatan pemberitaan topik terbaru melalui tablet, PC, bahkan smart phone. Sebagai contoh, adanya headline news di berbagai stasiun televisi dan penyebaran berita melalui media sosial seperti Twitter. Media pers di Indonesia juga harus memperlengkapi dan memperbaharui pengetahuan mereka mengenai konsep tata kelola perusahaan untuk dapat memberitakan isu tata kelola perusahaan, sehingga berita yang disebarkan bukan hanya sebuah gunjang-ganjing yang malah dapat merugikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa media pers memliki peranan penting untuk mengawasi perusahaan dan mengungkapkan fakta-fakta terkait dengan penyimpangan perusahaan yang dapat merugikan kepentingan publik.  Biaya reputasi menjadi sangat mahal dan menuntut perusahaan untuk mengambil keputusan serta melakukan tindakan yang selaras dengan stakeholders. Selain itu, perusahaan juga perlu untuk melakukan manajemen identitas media sosial demi terjaganya reputasi baik perusahaan di mata publik.

Oleh Ester Ro Uli Siahaan
Mahasiswi Program S1 Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia

Good Corporate Governance dalam Industri Perbankan: Suatu Kebutuhan yang Tak Terelakkan

Kajian mengenai good governance di Indonesia meningkat dengan pesat semenjak krisis finansial Asia yang melanda Indonesia di tahun 1997. Parahnya dampak krisis yang terjadi di Indonesia disinyalir diakibatkan oleh sangat minimnya implementasi good governance pada pemerintah dan dunia usaha. Kejadian tersebut mengungkapkan fakta bahwa pengelolaan pemerintah dan dunia usaha di masa itu marak dengan praktik kolusi, korupsi, nepotisme.
Good governance sangat penting diterapkan oleh pemerintah dan dunia usaha dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya. Pemerintah harus menerapkan good public governance sebagai pedoman dasar dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Dunia usaha pun juga memiliki keharusan untuk menerapkan good corporate governance dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Penerapan good governance di pemerintah dan dunia usaha akan mendorong terwujudnya good governance secara menyeluruh dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Salah satu industri dalam dunia usaha yang memiliki peran strategis terhadap pembangunan perekonomian adalah industri perbankan. Peran penting perbankan dalam perekonomian adalah sebagai lembaga intermediasi, sarana dalam pelaksanaan sistem pembayaran dan sarana transmisi dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Perbankan memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi karena tugas utama bank adalah  mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan lalu menyalurkannya dengan pemberian kredit untuk pembiayaan aktivitas sektor perekonomian, seperti pemberian pinjaman kepada koperasi, usaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Peran aktif perbankan dalam perekonomian akan mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara.
Bisnis perbankan di Indonesia mulai berkembang di era tahun 1980-an dan tumbuh dengan pesat di era tahun 1990-an. Pesatnya pertumbuhan industri perbankan saat itu, salah satunya  dipicu oleh kemudahan yang diberikan pemerintah dalam mendirikan usaha bank. Salah satu kemudahan tersebut adalah persyaratan modal yang dimiliki untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat sebesar Rp 50.000.000,00. Kemudahan dalam pendirian Bank Perkreditan Rakyat dimaksudkan untuk memudahkan pembiayaan usaha dengan peminjaman modal ke bank tersebut sehingga mendorong pertumbuhan aktivitas perekonomian. Namun, kebijakan pemerintah tersebut malah menimbulkan masalah baru bagi industri perbankan. Banyak pelaku bisnis dengan pengalaman yang tidak memadai di industri perbankan berbondong-bondong mendirikan bank. Akibatnya pengelolaan bank-bank saat itu pun sangat buruk.
Krisis finansial di tahun 1997 menjadi titik awal kehancuran industri perbankan Indonesia. Krisis tersebut telah menghancurkan berbagai sendi perekonomian Indonesia, salah satunya industri perbankan yang mengakibatkan krisis perbankan terparah sepanjang sejarah perbankan nasional. Bank-bank milik swasta maupun milik pemerintah banyak yang mengalami kesulitan finansial. Kondisi tersebut mengakibatkan puluhan bank harus dilikuidasi dan puluhan bank lainnya harus dimerger membentuk bank baru. Terlihat bahwa, krisis perbankan tersebut bukan sekedar disebabkan oleh krisis ekonomi, tetapi juga diakibatkan oleh lemahnya penerapan good corporate governance di industri perbankan.
Corporate governance pada industri perbankan pasca krisis keuangan di Indonesia menjadi sebuah keharusan. Pertama, bank mengemban peran yang dominan dalam perekonomian, khususnya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Kedua, persaingan industri perbankan yang sekarang ini sangat kompetitif mendorong pelaku bisnis dalam industri  untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saingnya dengan melakukan penataan usaha sebaik mungkin. Ketiga, industri perbankan adalah industri yang melibatkan aktivitas bisnis cukup kompleks dimana fokus bisnis adalah mengelola keuangan dengan risiko yang cukup tinggi. Keempat, industri perbankan adalah industri “kepercayaan”. Sebagai pelaku bisnis dalam bidang jasa keuangan, membangun dan mempertahankan keyakinan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional adalah hal utama yang harus dimiliki dan dipertahankan oleh bank sebagai syarat mutlak bersaing dalam industri ini.
Terdapat dua isu penting terkait fungsi bank sebagai lembaga intermediasi yang berpengaruh terhadap corporate governance. Hal yang pertama adalah bank sebagai sektor usaha yang memiliki regulasi tinggi justru mengalami hambatan dalam menjalankan corporate governance karena ketatnya regulasi yang berlaku.
Dan hal yang kedua adalah dilatarbelakangi oleh agency problem. Pemilik sebagai pemasok modal mendelegasikan wewenang pengelolaan perusahaan ke manajer. Manajer dengan kewenangan dalam menggunakan sumber daya perusahaan dan keleluasaan terhadap akses informasi perusahaan bisa saja bertindak untuk menguntungkan dirinya sendiri dan mengorbankan kepentingan pihak lain. Tata kelola perusahaan yang buruk memberikan kesempatan terjadinya kecurangan-kecurangan. Beberapa contoh kasus tindak pidana perbankan yang dilakukan akibat lemahnya penerapan corporate governance dalam mengatasi agency problem:
·         Di tahun 2007, terjadi pengalihan dana investasi yang ada di Bank Bali oleh manajer bank untuk mendanai partai politik tertentu.
·         Di tahun 2011, terjadi pembobolan deposito PT Elnusa di Bank Mega dimana salah satu pelakunya berasal dari pihak manajemen Bank Mega yang menduduki posisi Kepala Cabang Bank Mega Jababeka.
·         Di tahun 2011, terjadi pencucian uang dan penggelapan dana nasabah Citibank yang dilakukan oleh Melinda Dee, Relationship Manager dari Citibank, bersama dengan bawahannya yaitu Dwi Herawati, Novianty Iriane dan Betharia Panjaitan selaku Head Teller Citibank.
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan penerapan tata kelola perusahaan yang memadai, bank-bank harus senantiasa berpedoman pada prinsip-prinsip good corporate governance. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 dinyatakan bahwa seluruh bank wajib untuk melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip-prinsip good corporate governance yang terdiri dari transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran. Selain penerapan good corporate governance, hal penting yang harus diperhatikan adalah terkait ketaatan terhadap prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan bisnis dan harus adanya pengawasan yang efektif dari otorisasi pengawasan bank.
Keseriusan pemerintah yang diwakilkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan pembenahan fundamental terhadap perbankan nasional pasca krisis keuangan diwujudkan dengan dikeluarkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) di tahun 2004. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arahan,bentuk, dan tatanan industri perbankan. Terdapat enam pilar utama sebagai sasaran yang hendak dicapai dan salah satunya adalah menciptakan corporate governance untuk memperbaiki dan memperkuat kualitas manajemen dan kondisi internal perbankan nasional.
Dengan adanya good corporate governance  di industri perbankan, pengelolaan bank-bank diyakini dapat lebih baik terutama dalam menghadapi persaingan bisnis perbankan masa kini dan dalam menghadapi berbagai tantangan lainnya. Selain itu, penerapan corporate governance dalam pembenahan internal perbankan dapat menjadi dasar bagi pengembangan usaha  terutama dalam memperoleh dan mempertahankan kepercayaan publik.

Oleh: Agnes Fransisca
Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Indonesia: One Tier atau Two Tier?

Isu Good Corporate Governance menjadi kian populer di Indonesia sejak terjadinya krisis finansial tahun 1997-1998. Penyebab krisis ini adalah ada anggapan bahwa Corporate Governance di Indonesia lemah. Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia saat ini memiliki kredibilitas yang buruk di mata Internasional. Korupsi, kolusi, kejahatan perbankan, terorisme, sampai kepada pelayanan pemerintahan yang tidak cukup meyakinkan untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Disamping itu, terdapat banyak kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan di pasar modal. Sebut saja contoh kasus insider trading di Perusahaan Gas Negara atau kasus pembobolan deposito PT Elnusa di Bank Mega. Hal-hal ini yang sekiranya menunjukkan bahwa GCG dibutuhkan untuk mengarahkan perusahaan supaya dapat mencapai tujuannya dengan salah satunya mencegah terjadinya kecurangan di dalam perusahaan. GCG menunjukkan perannya sebagai standar atau tolak ukur untuk Indonesia, supaya kita mengetahui seberapa ukuran yang harus kita capai untuk mengubah persepsi dunia luar akan Indonesia.

Badan di Indonesia sendiri yang berusaha menanamkan nilai-nilai GCG adalah BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal). Nilai-nilai ditanamkan Bapepam seperti mendorong implementasi prinsip-prinsip GCG di Indonesia, dengan menerbitkan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan GCG seperti penerapan prinsip-prinsip kewajaran terutama untuk perlindungan kepentingan dan hak pemegang saham, ketentuan mengenai benturan kepentingan dalam transaksi-transaksi tertentu, ketentuan mengenai penawaran tender, keputusan Bapepam mengenai penerapan prinsip responsibilitas, akuntabilitas seperti keputusan mengenai merger, dan akuisisi perusahaan publik.

GCG mempunyai dua teori utama yakni stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory memandang manajemen sebagai pihak yang dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Sementara itu, agency theory memandang manajemen perusahaan sebagai agen bagi para pemegang saham yang bertindak dengan kesadaran bagi kepentingannya sendiri sehingga akan muncul konflik kepentingan. Agency theory menjadi lebih populer karena mencerminkan kenyataan yang ada. Di samping itu ada governance structure yaitu struktur hubungan pertanggungjawaban dan pembagian peran di antara berbagai organ utama perusahaan yakni pemegang saham, komisaris, dan direksi. Struktur perusahaan harus didesain untuk mendukung jalannya aktivitas organisasi secara bertanggungjawab dan terkendali. Ada dua struktur yaitu one-tier system dan two-tier system dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Sistem one-tier digambarkan sebagai sebuah struktur dimana hanya ada pimpinan tanpa adanya pemisahan tersendiri untuk fungsi pengawasan dan tidak batasan dalam fungsinya. Jelas sistem ini mempunyai kekurangan karena tidak adanya sistem pengawasan. Namun jika dilihat dari sisi positifnya, sistem ini membuat pemimpin organisasi dapat leluasa memberikan arahan dan perintah berdasarkan visi  dan misi perusahaan. Berbeda dengan one-tier, pada sistem two-tier terdapat badan pengawas yang mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Perbedaan mendasar antara one-tier dan two-tier adalah pada sistem one-tier tidak jelas siapa yang menjalankan fungsi pengawasan karena yang ada hanya fungsi pengambil kebijakan yang dijalankan oleh Chairman dan fungsi pelaksana kebijakan yang dijalankan oleh CEO.

Sistem two-tier sangat menjanjikan performa organisasi yang bagus. Hal ini terkait dengan adanya dewan komisaris yang merupakan pemegang kekuasaan sebagai pengawas sehingga diharapkan akan dapat mencegah atau mengurangi kecurangan. Tetapi ada-tidaknya penyelewengan dan bagus-tidaknya performa sebuah perusahaan juga sangat bergantung kepada sumber daya manusia yang ada dalam organisasi itu. Sistem manajemen yang baik yang meliputi sistem perekrutan yang ketat dan teruji akan menghasilkan orang-orang terbaik dalam bidangnya. Aspek lain yang dapat menjadikan struktur two-tier berjalan dengan baik adalah kredibilitas komite audit yang adalah salah satu pilar penghubung antara dewan komisaris dan dewan direksi karena masih banyak komisaris yang tidak mengetahui secara baik fungsi dan perannya di sebuah perusahaan.

Indonesia menganut paham two-tier system yang terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Board of Director, dan Executive Managers (manajemen yang akan menjalankan aktivitas) sedangkan untuk model two-tier system terdiri dari RUPS, Dewan Komisaris, Dewan Direktur, dan Manajer Eksekutif. Struktur ini memisahkan keanggotaan dewan, yakni antara keanggotaan dewan komisaris sebagai pengawas dan dewan direksi sebagai eksekutif perusahaan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya mengikuti model two-tier system yang merupakan warisan dari Belanda. Namun, sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 1995 yang menyatakan bahwa anggota dewan direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS begitu juga sebaliknya anggota dewan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Dengan demikian, dewan komisaris maupun dewan direksi bertanggungjawab terhadap RUPS.  Dengan melihat posisi yang sejajar antara dewan komisaris dan dewan direksi mengakibatkan kedudukan dewan komisaris di Indonesia tidak sekuat seperti dewan komisaris di negara-negara Eropa karena dewan komisaris tidak berwenang mengangkat dan memberhentikan dewan direksi. Dewan direksi tidak harus bertanggungjawab terhadap dewan komisaris. Hal ini dapat memunculkan pemahaman bahwa dewan komisaris tidak mengawasi dewan direksi tetapi malah menjadi “berteman” karena kedudukan yang sejajar. Di sisi lain, ada one-tier system yang dianut oleh perusahaan-perusahaan di Inggris dan Amerika yang melihat berdasarkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan di kedua negara ini memang biasanya sukses dalam menerapkan konsep GCGnya. Memang, one-tier system tidak ada yang berperan sebagai pengawas untuk Executive Managers sehingga mungkin ada risiko pemimpin yang diktator. Tetapi, kedua sistem ini memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing tergantung di negara mana sistem ini diterapkan.  Apabila kita lihat di negara Amerika dan Inggris yang memang cara berpikir, bertindak, dan menjalankan bisnis serta penegakan hukum sudah lebih maju dibandingkan Indonesia yang masih sarat dengan KKN dan kelemahan hukum memang cocok untuk memakai one-tier system. Di Indonesia sendiri rasanya belum bisa dijalankan sistem seperti ini karena adanya konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan, tidak efektifnya dewan komisaris, dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia sendiri.

Kelebihan dan kelemahan kedua sistem ini harus dipertimbangkan oleh perusahaan di suatu negara tatkala ingin mengadopsi salah satu diantara keduanya. Bisa saja Indonesia mungkin menganut one-tier system apabila situasi dan kondisi negara sudah seperti Inggris atau Amerika. Namun, Indonesia bisa pula tetap menganut two-tier system dengan memperhatikan pemilihan dewan komisaris dan dewan direksi yang independen, memiliki integritas, dan berkompeten. Jadi, apakah Indonesia siap untuk mengadopsi sistem one-tier? Rasa-rasanya melihat keadaan sekarang sudah pasti jawabannya adalah tidak. Namun, mari kita berharap seiring berjalannya waktu proses tatakelola perusahaan di Indonesia semakin membaik sehingga apabila nantinya Indonesia siap menerapkan sistem one-tier maka memang di masa itu nantinya telah terjadi perubahan besar atau transformasi dalam bidang sosial, hukum, dan politik.


Oleh: Kasih Silitonga
Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Something New

Hello Folks! :)
Enjoy our new blog